Oleh: Kencana Bayuaji, S.E., CRMPA, CFAS, CITAP, CPFI
Abstraksi
Fenomena subkontrak fiktif dalam pengadaan barang/jasa, baik untuk pekerjaan konstruksi maupun non-konstruksi, merupakan masalah serius yang dapat merugikan keuangan negara, merusak integritas sistem pengadaan, dan merugikan berbagai pihak terkait. Artikel ini membahas modus operandi subkontrak fiktif, motif pelaku, pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan, serta aturan yang dilanggar dalam praktik tersebut. Selain itu, artikel ini juga mengidentifikasi penyebab utama (root cause) terjadinya praktik tersebut, dampaknya, dan memberikan solusi mitigasi serta rekomendasi untuk mencegah perbuatan serupa terulang di masa depan. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap kasus ini, diharapkan dapat ditemukan solusi untuk mendeteksi dan mencegah praktik subkontrak fiktif secara lebih efektif.
Pendahuluan
- Praktik subkontrak fiktif dalam pengadaan barang/jasa adalah salah satu bentuk kecurangan yang melibatkan penyedia barang atau jasa yang tidak terlibat dalam pekerjaan, namun terdaftar secara administratif sebagai subkontraktor dalam kontrak. Praktik ini dapat terjadi pada berbagai jenis pengadaan, baik untuk pekerjaan konstruksi, pengadaan barang, maupun jasa non-konstruksi. Subkontrak fiktif seringkali digunakan untuk memanipulasi anggaran dan memperoleh keuntungan ilegal dengan cara yang merugikan negara serta mengabaikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan.
Modus Operandi Subkontrak Fiktif
- Modus operandi subkontrak fiktif umumnya melibatkan beberapa tahapan:
1. Pemalsuan Data Subkontraktor
- Pelaku mengidentifikasi perusahaan atau individu yang bersedia terdaftar sebagai subkontraktor tanpa benar-benar terlibat dalam pekerjaan. Biasanya, perusahaan fiktif ini memiliki hubungan dekat dengan pelaksana utama atau penyedia barang/jasa yang ingin menggelembungkan biaya atau mendapatkan keuntungan lebih.
2. Penyusunan Kontrak Fiktif
- Subkontraktor yang tidak terlibat dalam pekerjaan formal ditunjuk secara administratif untuk menandatangani kontrak yang fiktif. Kontrak ini tidak mencakup pekerjaan yang nyata, namun hanya digunakan untuk tujuan administratif guna memperoleh pembayaran.
3. Manipulasi Pembayaran
- Pembayaran dilakukan ke subkontraktor yang fiktif, tetapi uang tersebut pada kenyataannya tidak digunakan untuk pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh subkontraktor tersebut. Sebagian besar dana tersebut dikembalikan ke pihak yang terlibat dalam manipulasi melalui berbagai cara, seperti pengembalian dalam bentuk uang tunai atau jasa lainnya.
Motif Pelaku
Motif utama yang mendorong pelaku untuk melakukan subkontrak fiktif adalah:
- Keuntungan Finansial: Pihak utama atau penyedia jasa berusaha untuk memperoleh keuntungan lebih dengan memanipulasi biaya melalui penggunaan subkontraktor fiktif yang tidak melakukan pekerjaan nyata.
- Penghindaran Pengawasan: Dengan menggunakan subkontraktor fiktif, pelaku dapat menghindari pengawasan yang ketat terhadap jalannya pekerjaan dan pengeluaran anggaran.
- Pemenuhan Persyaratan Administratif: Praktik ini sering dilakukan untuk memenuhi persyaratan administratif atau untuk memperoleh proyek tanpa menjalani prosedur yang sah.
Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan
Pihak yang Diuntungkan:
- Pelaku Utama: Penyedia barang/jasa atau kontraktor yang melakukan subkontrak fiktif akan mendapatkan keuntungan dari manipulasi biaya proyek.
- Subkontraktor Fiktif: Pihak yang tercatat sebagai subkontraktor fiktif mendapatkan pembayaran tanpa perlu melakukan pekerjaan.
Pihak yang Dirugikan:
- Pemerintah/Instansi Terkait: Negara atau instansi yang membiayai proyek menjadi dirugikan karena anggaran digunakan secara tidak efisien dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Masyarakat Umum: Proyek yang seharusnya memberikan manfaat kepada masyarakat, seperti infrastruktur atau layanan lainnya, dapat terganggu atau tidak selesai dengan baik.
- Subkontraktor Nyata dan Pekerja: Subkontraktor yang benar-benar terlibat dalam pekerjaan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kontrak yang sah, dan pekerja dapat dirugikan karena kurangnya pengawasan dan pengakuan atas pekerjaan mereka.
Aturan atau Regulasi yang Terlanggar
- Praktik subkontrak fiktif melanggar berbagai aturan yang ada, baik untuk pengadaan konstruksi maupun non-konstruksi:
1. UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi:
- Meskipun lebih berfokus pada pengadaan jasa konstruksi, aturan ini juga dapat diterapkan dalam pengadaan barang dan jasa lainnya yang terkait dengan penyediaan sumber daya atau jasa terkait. Praktik subkontrak fiktif bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tercantum dalam UU ini.
2. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah:
- Menetapkan prosedur yang harus dilalui dalam pengadaan barang/jasa, termasuk kewajiban untuk melakukan verifikasi yang akurat terhadap para pihak yang terlibat dalam kontrak, termasuk subkontraktor.
3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
- Tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang/jasa, termasuk manipulasi anggaran dan penggunaan subkontraktor fiktif, dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU ini.
4. PSAK 34 dan PSAK 72:
- PSAK 34 mengatur pengakuan pendapatan dalam kontrak konstruksi, sedangkan PSAK 72 mencakup pengakuan pendapatan untuk semua jenis kontrak, termasuk pengadaan barang dan jasa non-konstruksi. Keduanya mengharuskan pengakuan yang sah dan faktual terkait pekerjaan yang dilakukan, yang tidak dapat dipenuhi dengan subkontrak fiktif.
Penyebab Hakiki (Root Cause) Analisis
Penyebab utama terjadinya praktik subkontrak fiktif adalah:
- Kurangnya Pengawasan Internal dan Eksternal: Proses pengadaan yang tidak transparan dan tidak diawasi dengan ketat memungkinkan terjadinya penyimpangan.
- Praktik Korupsi dan Kolusi: Terjadi antara penyedia barang/jasa dengan pejabat atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan, untuk memperoleh keuntungan pribadi.
- Sistem Pengadaan yang Lemah: Ketidaktegasan dalam regulasi dan pelaksanaan prosedur pengadaan memungkinkan terjadinya manipulasi dalam proses verifikasi subkontraktor.
Dampak Akibat Perbuatan
Dampak dari praktik subkontrak fiktif sangat merugikan, antara lain:
- Kerugian Keuangan Negara: Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan atau anggaran yang telah disetujui.
- Kerusakan Integritas Proses Pengadaan: Menciptakan ketidakpercayaan dalam sistem pengadaan barang/jasa yang seharusnya transparan dan akuntabel.
- Kualitas Pekerjaan yang Buruk: Pekerjaan yang tidak diawasi dengan baik atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang kompeten akan berakibat pada kualitas pekerjaan yang rendah.
Solusi Mitigasi dan Kontingensi
Untuk mencegah terulangnya praktik subkontrak fiktif, solusi yang dapat diterapkan antara lain:
1. Peningkatan Pengawasan dan Verifikasi:
- Menggunakan teknologi untuk memverifikasi setiap tahapan dalam proses pengadaan, termasuk validasi status dan pekerjaan subkontraktor.
2. Pelatihan dan Penyuluhan:
- Meningkatkan kesadaran tentang integritas dalam pengadaan melalui pelatihan kepada semua pihak terkait.
3. Audit Internal dan Eksternal yang Ketat:
- Melakukan audit secara berkala dan mendalam untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam penggunaan anggaran atau kontrak.
4. Penegakan Hukum yang Tegas:
- Memberikan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pihak yang terlibat dalam praktik subkontrak fiktif, baik dari aspek pidana maupun administratif.
Rekomendasi
- Pemanfaatan Teknologi: Implementasi sistem berbasis teknologi informasi yang memungkinkan transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh tahapan pengadaan barang/jasa.
- Peningkatan Keterlibatan Masyarakat: Mendorong partisipasi publik dalam pengawasan pengadaan melalui mekanisme pelaporan dan pengawasan yang lebih terbuka.
Konklusi
- Fenomena subkontrak fiktif dalam pengadaan barang/jasa, baik untuk konstruksi maupun non-konstruksi, adalah masalah serius yang harus segera ditangani. Dengan penerapan aturan yang ketat, peningkatan pengawasan, dan sistem yang transparan, praktik ini dapat diminimalisir. Melalui upaya pencegahan yang efektif, kita dapat menciptakan sistem pengadaan yang lebih adil, akuntabel, dan memberikan manfaat nyata bagi semua pihak terkait.
Hikmah Positif dan Kebermanfaatan Konkret
- Meskipun praktik subkontrak fiktif membawa dampak negatif yang besar, namun di balik kasus ini terdapat beberapa hikmah positif yang dapat diambil untuk memperbaiki sistem pengadaan barang/jasa di masa depan. Hikmah-hikmah tersebut dapat berkontribusi pada perbaikan berkelanjutan dan penguatan integritas dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintah maupun swasta:
1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengadaan
- Kasus subkontrak fiktif memberikan pelajaran berharga bahwa transparansi dalam pengadaan adalah kunci utama untuk mencegah manipulasi. Dengan mengimplementasikan teknologi berbasis e-procurement dan sistem verifikasi yang lebih ketat, proses pengadaan dapat dilakukan dengan lebih transparan dan terjamin akuntabilitasnya. Ini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran dan meminimalisir potensi penyimpangan.
2. Penerapan Sistem Pengawasan yang Lebih Kuat dan Efektif
- Praktik subkontrak fiktif menunjukkan pentingnya pengawasan yang menyeluruh dalam setiap tahapan pengadaan. Ke depan, pengawasan internal dan eksternal perlu ditingkatkan, baik melalui audit, verifikasi faktual terhadap subkontraktor, maupun pengawasan oleh masyarakat dan lembaga independen. Hal ini tidak hanya akan mencegah kecurangan, tetapi juga meningkatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan.
3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten
- Kasus ini menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang terbukti terlibat dalam subkontrak fiktif. Dengan sanksi yang jelas, tidak hanya pelaku yang dapat dihukum, tetapi juga sebagai pembelajaran bagi pihak lain untuk lebih berhati-hati dan mematuhi aturan yang berlaku. Penegakan hukum yang konsisten akan meningkatkan kesadaran hukum di semua sektor pengadaan.
4. Meningkatkan Kepatuhan pada Regulasi dan Standar yang Ada
- Subkontrak fiktif menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu, sebagai hasil dari kasus ini, regulasi dan standar dalam pengadaan barang/jasa perlu diperbarui dan diperketat. Para pihak yang terlibat harus memahami dengan baik apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam kontrak pengadaan, dan wajib menjalankan semua kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Kolaborasi Antar Lembaga untuk Memperkuat Pengawasan
- Mengingat bahwa subkontrak fiktif sering melibatkan berbagai pihak—baik pihak penyedia barang/jasa, kontraktor utama, maupun pejabat pengadaan—penting bagi instansi pemerintah dan lembaga pengawasan untuk lebih meningkatkan kolaborasi dalam pengawasan pengadaan. Koordinasi antar lembaga pengawas, seperti BPKP, LKPP, dan Kejaksaan, dapat meningkatkan efektivitas pengawasan dan pencegahan kecurangan.
6. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengawasan
- Masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pengawasan pengadaan barang/jasa. Dengan sistem pelaporan yang lebih mudah dan transparan, masyarakat dapat melaporkan dugaan kecurangan atau subkontrak fiktif yang terjadi di lingkungan mereka. Ini akan memberikan dampak positif dalam menciptakan iklim pengadaan yang lebih jujur dan terbuka.
7. Pendidikan dan Pelatihan untuk Penyedia Barang/Jasa dan Pejabat Pengadaan
- Salah satu hikmah penting dari kasus ini adalah perlunya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi penyedia barang/jasa, kontraktor, dan pejabat pengadaan. Pelatihan tentang kepatuhan terhadap regulasi, etika bisnis, serta cara-cara menghindari praktik kecurangan, harus menjadi bagian dari program pengembangan sumber daya manusia di sektor pengadaan.
Kesimpulan:
- Fenomena subkontrak fiktif dalam pengadaan barang/jasa menunjukkan adanya celah dalam sistem pengadaan yang perlu segera diatasi. Praktik ini dapat merugikan negara, mengurangi kualitas pekerjaan, dan merusak integritas pengadaan publik. Namun, dari kasus ini, kita dapat belajar untuk memperbaiki sistem pengadaan yang ada, dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, pengawasan, serta penegakan hukum yang konsisten.
- Untuk mencegah terulangnya praktik subkontrak fiktif, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang terstruktur, termasuk penggunaan teknologi untuk pengawasan, peningkatan pengawasan internal dan eksternal, serta penegakan hukum yang lebih tegas. Dengan melakukan perbaikan yang komprehensif ini, sistem pengadaan barang/jasa di masa depan diharapkan akan lebih efisien, transparan, dan berkeadilan, serta memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan negara.
- Kebermanfaatan konkret yang dapat diperoleh dari solusi dan rekomendasi yang diajukan adalah terciptanya sistem pengadaan yang lebih bersih dan terpercaya, yang pada gilirannya akan mengarah pada pembangunan yang lebih baik dan pengelolaan anggaran negara yang lebih efektif.