Artikel

Artikel

Membedah Celah Risiko Kolusi & Risiko Fraud: Mewaspadai Penyalahgunaan Kewenangan dalam Sistem Perpajakan antara DJP, PJAP, dan Wajib Pajak melalui Penerapan Coretax

13
Okt

Oleh: Kencana Bayuaji, S.E., CRMPA, CFAS, CITAP, CPFI, CCFE, C.HL, C.PS, C.TM

Value Creator with Integrity

Abstraksi

Risiko kolusi & risiko fraud dalam sistem perpajakan adalah ancaman serius yang dapat merugikan pendapatan negara dan merusak integritas lembaga perpajakan. Dengan penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Inti (Coretax), yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan pajak, muncul pula tantangan baru terkait potensi celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Kolusi yang terjadi antara oknum petugas/pejabat DJP, PJAP, dan Wajib Pajak berpotensi merusak implementasi Coretax jika tidak diawasi dengan ketat. Artikel ini akan menggali lebih dalam terkait potensi risiko kolusi dan risiko fraud dalam hubungan antara oknum DJP, PJAP, dan Wajib Pajak, serta bagaimana penerapan Coretax dapat menjadi alat yang efektif dalam mendeteksi dini red flags, mitigasi risiko, dan menyusun kontingensi dalam menghadapi keterkaitan risiko-risiko tersebut (risk event).

Pendahuluan

Sistem perpajakan yang transparan dan efisien sangat bergantung pada integritas dan pengawasan yang ketat terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam prosesnya, termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Penyedia Jasa Administrasi Perpajakan (PJAP), dan Wajib Pajak (WP). Dalam upaya menciptakan sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, pemerintah Indonesia meluncurkan Coretax, sebuah sistem administrasi perpajakan inti yang bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan data dan transaksi pajak secara lebih modern, akurat, dan transparan. Namun, keberhasilan penerapan Coretax juga tidak lepas dari potensi risiko kolusi & risiko fraud antara oknum-oknum dalam DJP, PJAP, dan WP yang bisa mengeksploitasi celah dalam sistem. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi potensi risiko ini dan menerapkan langkah-langkah mitigasi yang tepat agar tujuan reformasi perpajakan dapat tercapai dengan optimal.

1. Modus Risiko Kolusi & Risiko Fraud antara DJP, PJAP, dan WP dalam Konteks Coretax:

Risiko kolusi & risiko fraud dalam hubungan antara oknum DJP, PJAP, dan WP dapat terjadi melalui beberapa modus yang semakin canggih seiring dengan penerapan teknologi, seperti Coretax. Berikut adalah beberapa modus risiko kolusi dan risiko fraud yang dapat merusak implementasi Coretax:

  • Manipulasi Data di Sistem Coretax: Oknum di DJP atau PJAP yang memiliki akses terhadap Coretax dapat berisiko memanipulasi data dalam sistem, seperti pengurangan kewajiban pajak atau penyembunyian transaksi pajak yang sebenarnya.
  • Penggunaan Akses yang Tidak Sah: Oknum PJAP atau Wajib Pajak yang berisiko memiliki akses lebih ke sistem bisa memanfaatkan kredensial mereka untuk mengakses atau mengubah data pajak yang seharusnya tidak mereka kontrol.
  • Penyalahgunaan Fitur dalam Coretax: Coretax memiliki fitur yang memudahkan pemantauan dan pengelolaan pajak, tetapi berisiko jika fitur ini disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk memberikan kemudahan atau diskon pajak yang tidak sah, maka akan terjadi penyimpangan.
  • Pemalsuan Dokumen Pajak dengan Bantuan Coretax: Dalam beberapa kasus, oknum PJAP dan WP bisa berisiko memanipulasi dokumen elektronik yang dihasilkan oleh Coretax untuk tujuan penurunan kewajiban pajak secara tidak sah.

2. Deteksi Dini Red Flags dalam Coretax:

Implementasi Coretax memberikan potensi besar untuk mendeteksi dini red flags yang mengindikasikan adanya risiko kolusi atau risiko fraud. Beberapa red flags yang dapat diidentifikasi melalui Coretax antara lain:

  • Transaksi yang Tidak Wajar: Coretax dapat mengidentifikasi transaksi yang tidak sesuai dengan pola umum atau yang mencurigakan. Misalnya, pengurangan kewajiban pajak yang tidak didukung oleh dokumen atau bukti yang sah.
  • Akses yang Tidak Sah atau Tidak Normal: Coretax memungkinkan pelacakan akses pengguna. Jika terdapat aktivitas akses yang mencurigakan, seperti login dari lokasi yang tidak biasa atau pengubahan data tanpa otorisasi yang jelas, hal ini bisa menjadi indikator adanya penyalahgunaan kewenangan.
  • Perbedaan antara Data Sistem dan Aktivitas Nyata: Coretax juga bisa digunakan untuk membandingkan data yang dilaporkan dengan data transaksi yang sebenarnya. Ketidaksesuaian yang besar antara keduanya bisa menjadi indikasi adanya manipulasi.
  • Polarisasi Transaksi Tertentu: Kolusi antara oknum PJAP dan WP dapat menyebabkan transaksi yang berulang dengan pola serupa, seperti pengurangan kewajiban pajak dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan kondisi bisnis yang wajar.

3. Analisis dan Pengujian Penerapan Ketaatan Pelaksanaan PJAP Dibandingkan dengan Kriteria Aturan Bakunya:

Penting untuk melakukan analisis dan pengujian terkait penerapan ketaatan pelaksanaan PJAP dibandingkan dengan kriteria aturan bakunya. Dalam konteks implementasi Coretax yang dimulai pada tahun 2025, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Kesesuaian dengan Aturan Pajak yang Berlaku: PJAP harus memastikan bahwa semua proses yang dilakukan oleh pihaknya sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Analisis ini termasuk memverifikasi apakah praktik yang diadopsi oleh PJAP sejalan dengan aturan baku yang sudah ditetapkan oleh DJP.
  • Penerapan Teknologi dalam Proses Pelaporan: Penggunaan Coretax akan mempengaruhi cara PJAP melaksanakan kewajibannya dalam melaporkan dan mengelola transaksi perpajakan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa sistem yang digunakan oleh PJAP sudah terintegrasi dengan baik dalam Coretax dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh DJP.
  • Evaluasi Peran PJAP dalam Memastikan Kepatuhan Wajib Pajak: Setelah penerapan Coretax, perlu dilakukan evaluasi terhadap peran PJAP dalam memastikan Wajib Pajak mematuhi kewajiban perpajakannya. Apakah PJAP berfungsi secara optimal dalam mendukung Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya dengan benar?
  • Prosedur Audit dan Pengawasan Internal: PJAP perlu dilakukan audit dan pengawasan internal untuk memastikan bahwa semua praktik perpajakan yang dilakukan telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh DJP dan Coretax. Apakah mereka melaksanakan prosedur yang benar dalam hal pelaporan dan pengelolaan pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak?

4. Mitigasi Risiko Kolusi dan Risiko Fraud dalam Penggunaan Coretax:

Penggunaan Coretax memerlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa sistem ini tidak disalahgunakan. Beberapa langkah mitigasi yang dapat diterapkan antara lain:

  • Pengawasan Ketat terhadap Akses Pengguna: Coretax harus dilengkapi dengan kontrol akses yang kuat dan audit trail yang transparan, sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh petugas, PJAP, atau Wajib Pajak dapat dipantau dan diperiksa.
  • Audit dan Verifikasi Data Secara Berkala: Melakukan audit forensik terhadap data yang masuk ke dalam Coretax, serta verifikasi terhadap kewajiban pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan menggunakan analisis data dan pemodelan risiko.
  • Pelatihan dan Kode Etik untuk Petugas DJP dan PJAP: Pemberian pelatihan berkelanjutan tentang etika, kewajiban perpajakan, dan penggunaan yang sah atas sistem Coretax. Selain itu, penting untuk mengimplementasikan kode etik yang ketat untuk petugas DJP dan PJAP.
  • Penggunaan Teknologi untuk Deteksi Anomali: Coretax harus dilengkapi dengan alat deteksi anomali berbasis algoritma untuk memantau transaksi yang mencurigakan dan pola perilaku yang tidak biasa, yang bisa menjadi indikator adanya kolusi atau fraud.

5. Rencana Kontingensi dan Tindak Lanjut

Jika terdeteksi adanya kolusi atau fraud, tindakan kontingensi yang perlu dilakukan antara lain:

  • Investigasi Mendalam dan Penyidikan: DJP perlu segera membentuk tim investigasi untuk menyelidiki potensi risiko kolusi dan risiko fraud yang terdeteksi dalam Coretax. Proses ini harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan pihak berwenang, seperti aparat penegak hukum jika diperlukan.
  • Pencabutan Akses PJAP dan Petugas DJP yang Terlibat: Apabila oknum PJAP atau oknum petugas DJP terbukti terlibat dalam penyalahgunaan, mereka harus dikenakan sanksi administratif atau hukum, termasuk pencabutan akses terhadap Coretax.
  • Perbaikan dan Penguatan Sistem: Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, sistem Coretax perlu diperbaiki dan diperkuat, dengan menambah lapisan pengamanan dan memperbaiki kelemahan yang memungkinkan terjadinya manipulasi.

Konklusi:

  • Meskipun penerapan Coretax dapat membawa kemajuan besar dalam sistem administrasi perpajakan, potensi risiko kolusi dan risiko fraud antara oknum petugas DJP, PJAP, dan Wajib Pajak tetap perlu diwaspadai. Melalui deteksi dini red flags, penerapan langkah mitigasi yang tepat, serta tindakan kontingensi yang tegas, risiko-risiko tersebut dapat diminimalisir. Dengan pengawasan yang ketat dan transparansi dalam setiap langkah proses perpajakan, tujuan reformasi perpajakan Indonesia dapat tercapai, yaitu terciptanya sistem yang lebih adil, efisien, dan dapat dipercaya oleh publik. Selain itu, analisis mendalam terkait penerapan ketaatan PJAP terhadap aturan baku sangat penting untuk memastikan bahwa Coretax berjalan dengan lancar dan sesuai dengan standar perpajakan yang berlaku.